Senin, 14 Maret 2011

Resume Novel : MENGAKU RASUL

Puluhan orang kampung berkumpul. Sudah lama mereka merangkap dahaga, sungguh, mereka rindu akan sosok yang dapat menentramkan hati mereka yang membara.
            “Ayo kita lihat sebagai sebuah fakta. Tuhan mengirim nabi dan rasul pada setiap masa kepada setiap kaumnya. Apakah ini telah berhenti? Tidak, aku telah menerima wahyu yang akan membebaskan dosa-dosa para umat yang mempercayai kerasulanku sebagai pembawa berita kebenaran!”.
            Orang-orang kampung yang bercaping itu mengangguk-angguk dengan takzim. Seorang lelaki yang baru datang di Majelis tersebut menyikut lengan temannya dengan ingin tahu, “Ssst…, siapa yang akan di depan?”
            “Masa nggak tahu? Ini guru Samir! Orang suci! Rasul kami!”
Padi kering dan meranggas, tersebar dalam berpetak-petak sawah. Para petani berlinang air mata. Kegagalan yang pahit setelah membanting tulang selama berbulan-bulan membuat mereka tak kuat menahan rasa sakit. Mereka marah! Mungkin. Nabi dan rasul memang telah melupakan mereka, kegagalan, kesedihan, dan putus asa.
            Murid-murid berpakaian rapi duduk berbaris mendengarkan khotbah dengan khidmad. Perasaan mereka tersentuh sekaligus tersengat dengan suara dengus dari Guru Samir. Suara tikus berdengung seperti lebah yang sedang mengitari taman bunga.
            Ini seperti kiamat kecil! Dari sebuah jentikan api menjalar, membesar, dan menyambar apa saja yang dilewatinya.
            “KAFIR… SETAN… IBLIS… BAKAR!”
Sayup-sayup, terdengar hujatan, semakin lama semakin memanas. Api berjalan seperti sumbu ke arah laki-laki yang berdiri di imbar. Wajahnya tampak tenah. Saat perlahan-lahan tubuhnya mulai terbakar, senyum itu tertinggal. Seorang perempuan berjilbab menjerit. Berlari tak tahu arah. Tangannya yang mulus telah siap terlahap api. Namun, ia mendengar seseorang memanggil namanya…
            Riantiii… Riantiii…
            Lorong rumah sakit terlihat sepi. Pak Winangun mengusap wajahnya yang lelah. Ia tak rela melihat anaknya terluka, matanya berkaca-kaca. Tangan lembut Bu Winangun mengusap lengan suaminya. Seorang laki-laki dengan dandanan metal berdiri tak jauh dari pasangan paru baya itu.
            “Ajie…, bagaimana Rianti???” Air matanya menetes membasahi kerudungnya. Ajie berusaha sekuat tenaga menjawab-menjawab pertanyaan dari Ibu Winangun. Namun lidahnya kelu. Ia hanya mampu menunduk lemas. Tak berapa lama, seorang dokter keluar dari ruang ICU.
“Keadaan Rianti stabil. Insya Allah dia akan sembuh. Bapak dan Ibu berdoa saja” sang dokter berusaha menenangkan Pak Winangun. Kemudian dokter itu pu segera mohon diri dan berlalu. Ajie yang masih penasaran, berjalan menghampiri sang dokter untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Ia ingin tahu tentang keadaan Rianti secara detail. Ia tak bisa lagi terjaga dalam ketidakjelasan.
Sore itu, rumah keluarga Winangun tidak seperti biasa. Suhu udara memanas, terpicu oleh kemarahan pak Winangun yang seolah-olah sengaja ditumpahkan di depan Rianti. Bapaknya menyebutkan semua “desa”. Ajie dengan lancar, seperti sudah terpatri dalam benaknya. Rianti menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, ingatannnya melayang pada masa beberapa tahun lalu, saat ia dan Ajie bertemu pertama kali, Rianti dan Ajie persis seperti dua makhluk berlainan planet, yang tiba-tiba bertemu pada sebuah event yang telah diatur untuk mereka. Ajie mengunci pandangannya dan berjalan mendekati Rianti.
“Gue Ajie! Lo siapa?”
Mulut Rianti seperti terkunci. Lidahnya terasa kelu.
“Rianti!” seorang teman menepuk punggungnya. Rianti menoleh salah tingkah, matanya melirik ke arah Ajie. Lelaki itu tersenyum puas.
“Rianti…, nak…, ibu sama bapak mau ngomong sebentar…”
Suara ibu membuat Rianti tak tega untuk terus mematung di kamarnya. Dengan langkah diseret, ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju ibu dan bapaknya duduk. Belum sempat Rianti menikmati kursinya, sang bapak elah menyerangnya dengan kecaman pedas. Bapaknya telah menolak Ajie, bahkan sebelum ia mengenal luar dalamnya, setelah dikecam untuk kesekian kalinya, Rianti tak tahan lagi. Ia ingin pergi sekarang, meninggalkan orang tuanya. Hanya satu, Ajie.
Keheningan ruangan studio musik mendadak pecah berkulat karena hentakan suara drum yang dimainkan oleh Ajie. Seorang perempuan cantik berambut panjang dengan celana super pendek bersandar di tembok.
“Ayo dong Jie, temenin bentar kenapa sih??” perempuan bernama Widia itu merengek.
“Sori, gue anggak bisa. Lo liat kan, gue lagi apa!”.
Ajie yang kesal tak menanggapi engekan Widia lagi. Melihat itu, Widya langsung menerkam Ajie, memeluknya erat-erat dari belakang. Ajie tersentak saat merasakan tangan Widya melingkari dadanya.
BLAM…
Pintu studio terbuka lebar. Di ujung pintu, Rianti berdiri dalam diam. Rianti menggelengkan kepalanya dan berbalik tergopoh-gopoh. Ajie melepaskan lengan Widya yang melingkar di lehernya.
“Rianti, dengar dulu!” tangan Ajie meraih pundak Rianti, ia pun mengehntikan langkahnya.
“Denger! Dengerin apa lagi? Kamu pikir aku ini bego apa?”
“Kamu salah paham! Apa yang kamu lihat nggak seperti dugaan kamu… Widya…, kamu tahu Widya kan? Dia yang dari tadi godain aku… tuh cewek aja yang kegatelan.
“Oh ya? Dia gatel? Pasti kamu biangnya?”
Ajie memaksa menjajari langkah Rianti, namun dengan sengit ia melayangkan tangan sekeras-kerasnya di pipi Ajie.
PLAK…!!
“Najis!!”, Rianti mendesis penuh kemarahan. Ia mendorong Ajie dengan kasar dan berjalan terseok-seok menuju jalan raya.
Perempuan itu mengusap peluhnya yang membanjir. Rianti pergi berputar-putar tak tentu arah, setelah beberapa lama, Rianti merasa lapar, sehingga ia memutuskan untuk makan di sebuah restoran. Perempuan tiu membolak-balik majalah. Tanpa sengaja ia menemukan artikel yang menceritakan padepokan Mustika Haur milik guru Samir, Rianti menjadi tertarik. Inilah yang kuperlukan saat ini ketenangan jiwa. Perlahan-lahan ia mengambil telepon genggam, dan mengetikkan pesan untuk ibunya.
Bu, aaku ke padepokan Mustika Haur di desa Cimaru. Jangan khawatir. Aku aman dan sehat.
Padepokan Mustika Haur terhampar luas, dikelilingi perbukitan dan pepohonan rindang. Di siang yang panas terik itu, padepokan sedang ramai. Dari dalam gedung utama padepokan, keluar seorang pejabat berbaju batik yang necis. Di sampingnya guru Samir dan Ki Baihaqi. Sang pejabat berpamitan dengan mencium tangan guru Samir, diikuti staf-stafnya yang lain. Rombongan satu persatu masuk ke mobil. Tak jauh dari gedung utama, beberapa murid dan dua orang kepercayaannya guru Samir, Priyo dan Masnur bergerombol. Guru Samir berjalan kembali ke ruang padepokan, ia melihat ke arah gerombolan sambil senyum sekilas pada mereka. Puluhan murud padepokan memenuhi majelis. Beberapa murid tercenung. Rianti merapikan kerudungnya dan mengangkat tangan.
“Bagaimana kalau yang menentang kita itu adalah orang yang kita sayangi. Misalnya orang tua kita sendiri?”
“Yang menghalang-halangi adalah musuh Allah, karena itu orang seperti itu wajib dimusuhi, wajib kita perangi, jahat!”
Televisi di ruang tengah menyaki Buwinangun, melihat acara televisi itu dengan gamang. “Kita tidak bisa terus memberikan Rianti tinggal di padepokan itu, pak?”
Itu sudah berusaha membujuk dia, tapi anaknya keras kepala begitu, mau diapakan lagi? Begitu kuliahhnya mulai lagi. Dia pasti akan pulang”.
Bu Winangun terdiam.
“Bapak hubungi Ajie minta tolong dia dan utnuk jemput Rianti”.
“Kamu tahu sendiri, saya tidak suka anak itu. Saya ribut dengan Rianti, sampai dia kabur, karena saya tidak mau Rianti bergaul dengan anak itu”!
“Kita tak punya pilihan pak. Cuma Ajie yang bisa membantu kita”.
Ajie duduk gelisah dalam bus yang membawanya ke padepokan Mustika Hour. Ajie memandang keluar jendela bus. Bertanya-tanya apakah dahulu Rianti juga duduk sendirian di dalam bus ini? Bus berhenti di depan pintu gerbang yang bertuliskan “Padepokan Mustika Haur”. Ajie berjalan ke ruang pendaftaran.
“Mau ambil paket apa?”
“Paket?” Ajie mengerutkan keningnya dengan bingung
“Lo sarap ya?” Ajie serta merta langsung mengeluarkan pendapatnya.
Saat itulah guru Samir tampak berjalan melintas di depan ruangan.
“Namamu siapa?” Tanya guru Samir.
“Kenapa ada sertifikat segala? Kok agama jadi kayak objek hukum?”
Guru Samir tampak tertegun sejenak dengan pertanyaan yang mungkin belum pernah dipertanyakan. Guru Samir memberikan penawaran gratis pada Ajie. “Wah! Ajie tercengang. “Ajie!”.
Di depan Ajie telah berdiri Rianti. Rianti pun tegang melihat Ajie. Ia tak menjanjikan Ajie akan menyusulnya.
Siang itu, terik memanggang padepokan. Ki Baijaqi mencoba bicara mengenai rencana guru Samir meminang Rianti. Ki Baihaqi mendehem gelisah. Rencana guru Samir telah membuatnya gundah.
Ajie menatap Reihan dalam-dalam. Ia mencoba membaca pikirannya, mencari-cari tanda bahwa Reihan tidak  berdusta, setelah itu Ajie mengajak Rianti bertemu sore itu. Di sekitar padepokan, mereka berjalan menyusuri jalan berbatu kerikil yang asri.
Marni termenung seharian, dari kamarnya yang sunyi, tiba-tiba Marni merasakan gelombang rasa mual hebat, menjalar dari perut, langsung ke kerongkongan. HOEK! HOEK! Tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar mandan.
“Kenapa Marni? Kamu kok muntah pagi-pagi begini. Kamu kayak orang ngidam saja”. Tiba-tiba air matanya menggenang dan mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Sang ibu tertegun.
“Kamu…”
“Ada apa ini?” ayah Marni mendengar suara-suara gaduh.
Sesaat, tak ada yang dapat menjaab pertanyaan Ramli, pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Marni menangi semakin kencang, Zubaeda berusaha menyusun kata-kata.
“Marni, pak… Marni hamil”
“Siapa? Dengan siapa kamu berbuat”
Ramli melepas pelukannya pada Zubaeda, lalu tangannya pun sontak berada di leher anaknya “Dengan siapa?”
Marni merasakan cekikan ayahnya itu semakin keras.
“Guru Samir, pak!”.
“Biadab.. ustadz laknat!”.
Tepat di luar ruangan padepokan, telah berkumpul puluhan orang kampung sekitar yang berteriak-teriak marah. Guru Samir berjalan keluar dengan perlahan.
“Ada apa ini?”
“Kamu menghamili anak saya. Kamu harus tanggung jawab!”
Guru Samir tampak terkejut. Marni yang terus menangis.
“Kalian percaya omongan orang ini? Mana mungkin saya menghamili anak gadis orang!” orang-orang berpandangan.
“Guru kenapa guru ngomong seperti itu? Guru sudah janji akan menikahi saya!” Marni berbicara sambil menangis.
“Menikahi kamu! Istri saya sudah cukup, ada empat. Saya tidak bisa menambah istri lagi”, Guru Samir mengangkat empat jarinya.
“Dengar kalian semua! Kalian percaya dia atau saya? Tidak mungkin saya melakukan perbuatan maksiat seperti itu. Maksiat seperti itu. Saya ini orang suci. Tuhan telah membebaskan saya dari perbuatan dosa!” Guru Samir berusaha mengubah jalan pikiran orang-orang di depannya.
“Bohong. Demi Tuhan, dia yang menghamili saya!” marni berteriak histeris sambil menunjuk Guru Samir.
Orang-orang kampung tampak masih tak percaya kepada laki-laki yang mengaku suci itu.
“Kalian tidak percaya kalau saya orang terpilih? Kalian mulai meragukan saya? Baik, akan saya buktikan kerasulan saya!”.
Guru Samir berbalik masuk ke dalam. Orang-orang saling pandang, menunggu gaduh saling berbisik.
Reihan, Saifah, dan Sundari tergopoh-gopoh datang mendekati kerumunan. Tiba-tiba Guru Samir keluar membawa pedang panjang dan berkulat. Gur Samir menatap mereka satu demi satu. Kalau tadi wajahnya terlihat berang, kini dia tampak tenang.
“Potong tangan saya!” kata Guru Samir menggelegar. Semua orang terkesiap.
“Kalau tangan saya tidak kembali utuh, berarti saya bersalah!”
Lalu guru Samir mengacungkan pedang di tangannya.
“Ayo siapa yang berani melakukannya?”
Sundari istri Guru Samir yang paling muda menutup mulutnya karena ketakutan.
“Tidak… jangan…!” suaranya parau mencoba mencegah langkah suaminya. Namun tantangan telah digulirkan dari Ramli langsung berjalan maju. Guru Samir tersenyum memandang Ramli. Ramli menggenggam pedang dan menimbang-nimbang. Terasa berat, Ramli mengangkat pedang di tangannya dengan kekuatan penuh dan teriakan, Ramli mengayunkan pedang ke tangan Guru Samir.
CETAS!
Tangan Guru Samir tertebas, terpisah dari badan, kemudian Guru samir tergeletak di lantai. Mulutnya terkatup rapat menahan kesakitan, lalu murid-murid padepokan membawa Guru Samir masuk ke dalam.
Senja mulai menampakkan sinar orange keemasan. Di depan padepokan masih banyak orang-orang, mendadak pintu padepokan terbuka. Semua kepala menoleh, lalu serentak bangkit, beringsut mendekat. Sosok Guru Samir melangkah keluar, pakaiannya putih cemerlang. Wajahnya pun tampan bersih dan berseri-seri.
Di bawah tatapan semua orang, pelan-pelan Guru Samir mengembangkan tangannya yang memegang tasbih, lalu satu per satu para murid dan orang-orang kampung duduk bersimpuh pada lutut mereka karena tangan guru Samir kembali utuh.
Uara jangkrik berirama menemani kesunyian malam di perkebunan sekitar padepokan. Orang-orang kampung dan murid padepokan berjalan menuju rumah tirakat. Mereka membawa obor dan berzikir sepanjang perjalanan. Di antara mereka, tampak Rianti terseret dalam arus jamaah yang berduyun-duyun berjalan maju. Kemudian Ajie dan Reihan bersembunyi di balik semak-semak memandang ke arah murid-murid yang menuju ke rumah tirakat. Reihan dan Ajie berlari cepat menuju rumah utama padepokan. Ajie dan Reihan sampai di depan kamar guru Samir. Kemudian Ajie berhasil menghancurkan pintu kamar Guru Samir. Reihan masuk dan menemukan baju dan pedang Guru Samir yang bersimbah darah.
Rumah tirakat telah penuh dengan pengikut-pengikut setia Guru Samir. Di rumah tirakat, para jama’ah masih mendengarkan khotbah Guru Samir. Tiba-tiba dari luar rumah tirakat terdengar suara orang-orang kampung semakin mendekati rumah itu.
“Ustadz laknat … kafir…!
Para jama’ah yang di dalam spontan keluar ke arah suara. Di halaman rumah tirakat, orang-orang kampung berkumpul, bersiap untuk melakukan pembakaran. Ramli tampak tak sabar. Ia mengacungkan obor di tangan kanannya.
“Keluar kau ustadz cabul … Setan!”
Sontak, kemarahan yang telah berputar-putar di sekitar mereka seperti menemukan batasnya. Mereka berteriak serentak, “Bakar…”, tapi Guru Samir tidak memperdulikan bau minyak yang sudah menyengat dan menruskan khotbahnya.
Reihan dan Ajie tersentak melihat langit di atas rumah tirakat memerah, kemudian Rianti menjerit, berlari tak tentu arah.
Secara perlahan-lahan, di benaknya terputar kembali kejadian mengerikan dalam kebakaran di rumah tirakat. Tiba-tiba batinnya menuntutnya mempertahankan kerasulan gurunya itu.
Pada malam itu, rumah reihan tampak lengang. Bunga-bunga Mawar menebarkan bau harum semerbak di acara pernikahan Rianti dan Guru Samir. Kedua pengantin duduk berdampingan di atas bantal empuk, dikelilingi kelambu satin. Malam yang menusuk tak menghentikan langkah Ajie dan Reihan untuk mencari kebenaran. Papan penutup mayat yang telah diangkat, kain putih tersingkap, reihan melepas kafan dari tubuh mayat dengan perlahan-lahan. Ia melihat bagian tangan kanan mayat yang terpisah dari tubuhnya. Di dalam liang lahat. Reihan menatap marah pada mayat kembaran Guru Samir. Ajie tampak menahan geram. Tangannya mengepal, “SAMIRRRR!!”. Ajie dan Reihan berlari, panik menerobos jalanan kampung, melewati ladang jagung, menembus kegelapan.
Guru Samir berdiri menjauh dari Rianti yang masih berbaring di tempat tidur. Rianti terkejut. Rianti menusuk guru Samir. Air mata Rianti mengalir. Ajie terkejut, Rainti menatap wajah Ajie dengan sendu. Saijah berlari mendekati Rianti yang masih syok. Rianti memeluk erat Saijah dalam tangis. Berusaha melepaskan semua sakit dan beban yang telah ditanggungnya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar